Persaingan transportasi berbasis aplikasi di Kota Makassar kembali memasuki babak baru. Kehadiran Green Smart Mobility (Green SM) dengan 200 unit armada mobil listrik VinFast resmi mengaspal, menandai langkah maju dalam modernisasi transportasi perkotaan sekaligus mendukung agenda kota rendah emisi. Peresmian oleh Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, di kawasan Center Point of Indonesia (CPI) pada 15 September 2025 menjadi tonggak penting bagi wajah transportasi Makassar ke depan.
Namun, euforia peluncuran ini tidak boleh menutupi realitas bahwa sistem transportasi kota masih menghadapi tantangan besar. Data menunjukkan bahwa angkutan umum tradisional seperti bus dan angkot hanya digunakan oleh kurang dari 5 persen masyarakat. Sebaliknya, lebih dari 650 ribu warga Makassar kini bergantung pada layanan transportasi berbasis aplikasi. Tingkat kepuasan masyarakat pun relatif tinggi, yakni 75,91 persen, terutama pada aspek kenyamanan, kemudahan, dan kecepatan.
Di sinilah Green SM hadir membawa harapan sekaligus tantangan. Sebagai pemain tunggal taksi listrik di Makassar, Green SM menawarkan konsep ramah lingkungan yang sejalan dengan visi kota menuju nol karbon. Tetapi, masalah utama justru terletak pada tarif. Harga kendaraan listrik yang tiga kali lipat lebih mahal dari kendaraan konvensional membuat ongkos produksi dan biaya operasional tidak bisa dipukul rata dengan taksi berbahan bakar minyak. Pertanyaan krusialnya: apakah tarif Green SM akan disamakan dengan taksi konvensional, atau justru diberikan kerangka tarif khusus?
Di titik ini, pemerintah daerah, khususnya Pemprov Sulsel, perlu mengambil sikap tegas. Regulasi mengenai penetapan tarif taksi listrik harus berbasis pada kajian menyeluruh, mencakup daya beli masyarakat, nilai investasi kendaraan, dan insentif bagi transisi energi bersih. Tanpa regulasi yang jelas, Green SM berisiko terseret dalam persaingan tidak sehat atau ditolak oleh pasar karena dianggap terlalu mahal.
Selain soal tarif, ketersediaan infrastruktur pendukung juga mendesak untuk disiapkan. Taksi listrik tentu membutuhkan stasiun pengisian daya yang memadai di titik-titik strategis kota. Jika tidak, keandalan layanan akan dipertanyakan. Transportasi berbasis armada listrik hanya bisa berkelanjutan bila ditopang ekosistem pendukung yang terintegrasi.
Kehadiran Green SM jelas merupakan angin segar bagi wajah transportasi Makassar. Namun, ia tidak boleh berhenti pada seremonial peresmian semata. Momentum ini harus menjadi pijakan untuk mendorong reformasi transportasi kota yang lebih ramah lingkungan, inklusif, dan berkelanjutan.
Jika tarif yang proporsional bisa dirumuskan dan infrastruktur pendukung segera dibangun, Green SM berpotensi menjadi pionir transformasi transportasi perkotaan di Makassar. Sebaliknya, tanpa kebijakan adaptif, kehadiran taksi listrik ini bisa terjebak hanya sebagai “simbol hijau” tanpa dampak nyata bagi masyarakat luas.