Kebakaran yang melanda Gedung DPRD Makassar pada aksi unjuk rasa, Jumat (29/8/2025), seharusnya menjadi momentum penting untuk meninjau kembali keberadaan gedung wakil rakyat tersebut. Pemerintah pusat memang sudah menyiapkan anggaran rekonstruksi melalui APBN, namun persoalan mendasarnya bukan sekadar membangun ulang dari nol. Pertanyaan yang lebih krusial adalah: apakah lokasi saat ini masih tepat?
Sebagai pengamat tata ruang, saya menilai banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Akses transportasi, ketersediaan lahan, serta aspek keamanan dari potensi demonstrasi harus masuk dalam kajian serius. Gedung DPRD bukan hanya simbol aspirasi masyarakat, tetapi juga ruang dialog yang seharusnya mampu menampung dinamika publik secara aman dan terbuka. Halaman yang lapang, misalnya, dapat dirancang untuk mengakomodasi aspirasi warga tanpa selalu berakhir dengan ketegangan.
Dalam konteks tata ruang Makassar, wilayah Biringkanaya layak dipertimbangkan sebagai opsi lokasi baru. Kecamatan ini memiliki lahan luas dengan akses transportasi yang unggul: dekat jalan tol, bandara, pelabuhan, dan jalur utama kota. Letaknya yang strategis membuat anggota dewan dari berbagai kecamatan lebih mudah menjangkaunya.
Tentu, penyesuaian tata ruang kota bukan hal mustahil. Kita sudah melihat bagaimana rencana pembangunan GOR sebelumnya bisa masuk dalam perencanaan. Dari 15 kecamatan di Makassar, hanya Manggala, Tamalanrea, dan Biringkanaya yang masih memiliki lahan representatif. Dari ketiganya, Biringkanaya tampak paling realistis dan prospektif untuk menopang fungsi DPRD ke depan.
Momen ini sebaiknya tidak hanya dimaknai sebagai proyek rekonstruksi, melainkan juga sebagai kesempatan menata kembali wajah kota. DPRD adalah rumah rakyat; karena itu, lokasinya pun harus benar-benar mencerminkan keterjangkauan, keamanan, dan keterbukaan bagi seluruh warga Makassar.